Wednesday, September 19, 2007
Berbuka Dengan Airmata
Jam 3 pagi suara alarm berbunyi, isyarat tuk lekas bangun. Tak kuat menahan kantuk, Rena kembali melanjutkan tidurnya. Namun belum sempat terlelap handphonenya kembali bernyanyi hingga terperanjat bangun dan segera mengangakatnya. Rena tau benar siapa yang ada ada di ujung telephone itu, “Assalamualaikum, sahur ... sahur ... !!” itu yang pertama kali terdengar, “Wa alaikum salam” jawab Rena dengan suara manja.

Dia adalah pria yang terpenting dan sumber semangat dalam hidupnya saat ini. Selesai berbincang-bincang, Rena bergegas mandi. Tak perduli hawa dingin menyelimutinya. Masih ada waktu sekitar 25 menit untuk menunaikan sahur.

Waktu adzan subuh tiba dan berkumandang dengan indah, dari jendela kamarnya Rena melihat ke arah langit sambil mengucap puji-pujian kepada Yang Maha Kuasa lantas segera menunaikan shalat subuh. Setelah itu besiap-siap untuk pergi bekerja, hanya butuh 20 menit untuk berdandan yang cantik dan mengenakan stelan yang matching. Jeans plus kaus berkerah hitam dipadupadankan dengan kemeja tak berlengan berwarna merah. Wajahnya berbinar-binar, tak lepas senyuman dibibirnya.

Dua jam setengah waktu yang di tempuh ke kantor, langkahnya bergerak cepat menuju lift. Nyaris saja lift itu meninggalkannya, namun laki-laki yang ada didalamnya segera menahan laju lift tersebut dan mempersilakan Rena ikut, mereka berdua tersenyum saling memandang. Sesampainya di lantai yang dituju, kali ini Rena yang menahan pintu itu dan mempersilahkan laki-laki tadi masuk ke dalam ruangan. Hal biasa yang sering terjadi di pagi hari, hanya prilaku santun tak ada ketertarikan lebih jauh.

Tugas menanti, Rena menyalakan komputernya, mengecek email yang masuk dsb. Tak terasa waktu bergulir dengan cepat, saat ini menunjukan jam 12.15 siang. Tidak ada rencana keluar, bulan puasa begini rutinitasnya di dalam kantor saja. Handphone berdering, teman dekat menyapa “Pa kabar bu?” ... lalu mereka ngobrol panjang lebar. Gelak tawa tercipta, namun bersamaan itu pula tawanya sontak terhenti. Karena apa yang baru saja didengarnya kembali mencongkel luka lama.

Lia : “Ren, tau gak temanku bilang Prian sudah menikah”.
Rena : “Oh, iya ... kamu tau dari siapa?’’
(meski terdengar biasa saja dengan kabar itu, namun siapa yang tau dalam hati Rena, karena Prian adalah laki-laki di masa lalunya)
Lia : “Aku tau dari salah satu teman, sepertinya Prian memang sengaja gak ngundang karena gak banyak yang tau”.

Rena terdiam, lalu kembali terdengar bibirnya berucap “Syukurlah, semoga dia selalu bahagia”. Mendengarnya Lia merasa bersalah, karena telah memberitahukan hal ini. Dari bibir Rena sendiri, akhirnya Lia tau semua tentang sebuah kejujuran yang selama ini dipendamnya bertahun-tahun. Bahwa meski tak lagi bersama Prian dan dengan siapapun akhirnya Rena pernah berbagi hati, tak jua sepenuhnya mampu melupakan kenangan bersama Prian.

Baru beberapa bulan ini Rena belajar untuk menerima takdir bahwasanya tidak mungkin berharap segalanya kan seperti dulu saat bersama Prian, sampai laki-laki yang saat ini dekat dengannya mampu perlahan hapus perih masa lalu. Kini telah terjawab semua bahwa Tuhan sudah mengatur jalan hidup yang ditetapkanNya, meski tak selalu sama dari harapan umatNya pasti inilah keputusan yang terbaik.

Dua tahun mengenal dekat Prian, suka dan duka. Bertahun-tahun sulit begitu saja melupakan, melepasnya tidaklah mudah, berkorban perasaan, berteman airmata. Kenapa kasih dan sayang itu harus ciptakan luka? Prian telah menentukan takdir hidupnya, lalu Rena harus bagaimana?

Di sepanjang perjalanan pulang, hatinya kosong. Masih terngiang di kepalanya apa yang pernah Prian ucapkan. “Aku benci diriku sendiri Ren, hidupku terasa hampa dan kosong, aku memang pecundang Ren, maafkan aku ... masih banyak laki-laki yang lebih baik dari aku Ren, aku kan dah gak pantas jadi cowo kamu”. Sampai detik ini Rena tidak mengerti arti kalimat yang Prian utarakan, dia begitu pintar menutupi perasaannya. Kini banyak pertanyaan hadir dalam pikirannya “Apakah Prian benar-benar mencintai wanita pilihan hidupnya, apakah aku benar-benar telah mati, apakah dia sengaja menguburku dipikirannya?” Tidak hanya itu, Prian juga bilang “I will remember you in my mind”. Dan berbagai pertanyaan pun terlontar dari bibir Prian ”Sebenarnya laki-laki seperti apa yang kamu cari Ren?”, “Laki-laki yang Allah ridhoi” jawabnya - Prian membalas "Semuanya juga diRidhoi Allah Ren". “Kenapa kamu selalu kabur kalau ada aku?” Rena tak menjawab hanya ditanggapi dingin dan keras hati, dia lebih suka melihat Prian menderita daripada memberinya cela tuk kembali, apalagi Rena harus menjilat ludahnya sendiri. Dulu Rena bisa tidak perduli dengan Prian, namun mengapa sekarang kabar itu seolah-olah menggangu pikirannya.

Adzan maghrib berkumandang, saatnya berbuka. Namun Rena tak punya apa-apa untuk membatalkan puasanya, sudah lelah hati ditambah pula lelah raga karena terperangkap macet yang panjang. Hanya rasa asin pekat dibibir Rena, sesaat sadar itu adalah airmatanya. Rena berbuka dengan airmata, airmata yang sejak tadi tertahan, kepalanya tertunduk, tak ingin orang lain tau apa yang sedang berkecambuk didalam hatinya.
“Ya Tuhan, hubunganku dengan kedua orang yang kusayang telah terputus, tolong saya ... mudahkan jalan ini, kalau dia jodoh saya jangan sampai kami terpisahkan. Saya tidak ingin menangis dan bersedih seperti ini. Saya hanya ingin bahagia bersamanya, karena dia yang terpenting dan sumber semangat dalam hidup saya saat ini”.

[can’t turn back the year]
Previous
Archives